Warna-warni Kehidupan Masisir
“Orang yang paling bisa bertahan
hidup bukan orang yang kuat, bukan pula orang yang pintar tapi orang yang bisa
bertahan hidup adalah orang yang mampu beradaptasi dengan perubahan” (C.Darwin)
Siapa
yang tak pernah membayangkan bagaimana indahnya kehidupan di Mesir, berbagai
macam novel dan film-film lebar sudah banyak menceritakan dan menggambarkan
betapa indahnya negri para Nabi ini, tak heran sedikit banyak para mahasiswa
yang datang ke negri ini lahir dari motivasi yang tumbuh karena sebuah film
atau sebuah novel. Akan tetapi tidaklah semua hal yang indah itu benar-benar
terjadi di negri ini, seperti kata pepatah masisir “Disini lahir seorang
yang mulia Nabi Musa .As dan lahir pula seorang yang paling buruk Fira’un”,
keindahan-keindahan yang menjadi impian tidak jarang berakhir menjadi duka dan
tangis penderitaan. Bukan karena kekurangan yang dimiliki tapi karena
ketidaksiapan diri untuk beradaptasi dengan lingkungan. Fikiran yang selalu
terikat dan terbatas hanya pada pesona Mesir sedang tubuh berusaha bertahan
dari keras dan kejamnya negri ini.
Masisir
komunitas pelajar mahasiswa Indonesia Mesir yang saat ini menempuh jenjang
pendidikan di negri ini sudah hampir mencapai 4000 mahasiswa, jumlah yang tak
sedikit untuk ukuran pelajar Indonesia di luar negri. Menuntut ilmu di negri
orang bukanlah hal yang mudah, butuh bukan hanya sebatas kepintaran dan
kekuatan tapi juga butuh kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan.
Tulisan
ini tidak akan mampu mencatat dan menggambarkan betapa banyaknya corak cerita
dan kehidupan di Negri Kinanah ini, negri ini mampu membuat seseorang tersenyum
dan mampu membuat seseorang menangis. Para mahasiswa yang datang ke negri ini
selalu berangkat dari niat yang tulus yaitu menuntut ilmu agama tapi sedikit
dari mereka yang sadar bahwa tidak hanya sekedar niat yang tulus yang menjaga
mereka dinegri ini tapi juga butuh tekad dan sikap konsisten untuk menajaga
niat itu.
Ibarat
menaiki sebuah perahu layar, setidaknya harus memiliki kesiapan akan datangnya
ombak besar. Laut yang begitu indah dipandang dari tepinya, memiliki keganasan
didalamnya. Mahasiswa yang dulunya semangat menuntut ilmu akhirnya beberapa
tahun kemudian menjadi pembisnis, aktivis, dan yang paling buruk mereka menghabiskan
waktu mereka disni bersama laptop-laptop mereka.Al- Azhar sebagai Universitas
terpandang di dunia hanya menjadi ladang tempat ujian, pada akhirnya mereka
hanya melakukan satu hal “Ujian untuk belajar, belajar untuk ujian”. Inilah
salah satu faktor yang menjadikan intelektual masisir mengalami kemunduran,
belajar hanya sebatas kewajiban bukan kebutuhan.
Berbeda
dengan beberapa golongan mahasiswa yang lain, justru kondisi kehidupan mesir
seperti ini menjadi pendorong kesuksesan mereka. Mereka berbisnis, aktif dalam
organisasi dan jejaring sosial akan tetapi tetap mendapat predikat yang baik
dalam pendidikan, kenapa demikian? Mereka mampu melihat kondisi kehidupan di
negri ini, dan mereka juga mampu memilih mana yang lebih prioritas dalam hidup
mereka. Sekali lagi ini bukan tentang kekuatan dan kepintaran seseorang tapi ini tentang kemampuan seseorang
beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Apapun yang diraih di negri ini,
menjadi pembisnis terbaik, aktivis terbaik atau apapun itu, tidak akan mengubah
pandangan masyarakat Indonesia bahwa mahasiswa Al-Azhar adalah yang terbaik
dalam bidang agama. Oleh karena itu, Apapun warna kehidupan di negri ini, hitam
putih yang dilalui, setidaknya milikilah pegangan yang kuat bahwa kita akan
kembali ke negri tercinta kita Indonesia, apa yang akan kita berikan untuk
negri kita???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar