Rabu, 20 Maret 2013

Warna-warni Kehidupan Masisir

Warna-warni Kehidupan Masisir

Oleh : Shibghatullah Ahmad

Orang yang paling bisa bertahan hidup bukan orang yang kuat, bukan pula orang yang pintar tapi orang yang bisa bertahan hidup adalah orang yang mampu beradaptasi dengan perubahan” (C.Darwin)
Siapa yang tak pernah membayangkan bagaimana indahnya kehidupan di Mesir, berbagai macam novel dan film-film lebar sudah banyak menceritakan dan menggambarkan betapa indahnya negri para Nabi ini, tak heran sedikit banyak para mahasiswa yang datang ke negri ini lahir dari motivasi yang tumbuh karena sebuah film atau sebuah novel. Akan tetapi tidaklah semua hal yang indah itu benar-benar terjadi di negri ini, seperti kata pepatah masisir “Disini lahir seorang yang mulia Nabi Musa .As dan lahir pula seorang yang paling buruk Fira’un”, keindahan-keindahan yang menjadi impian tidak jarang berakhir menjadi duka dan tangis penderitaan. Bukan karena kekurangan yang dimiliki tapi karena ketidaksiapan diri untuk beradaptasi dengan lingkungan. Fikiran yang selalu terikat dan terbatas hanya pada pesona Mesir sedang tubuh berusaha bertahan dari keras dan kejamnya negri ini.
Masisir komunitas pelajar mahasiswa Indonesia Mesir yang saat ini menempuh jenjang pendidikan di negri ini sudah hampir mencapai 4000 mahasiswa, jumlah yang tak sedikit untuk ukuran pelajar Indonesia di luar negri. Menuntut ilmu di negri orang bukanlah hal yang mudah, butuh bukan hanya sebatas kepintaran dan kekuatan tapi juga butuh kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan.
Tulisan ini tidak akan mampu mencatat dan menggambarkan betapa banyaknya corak cerita dan kehidupan di Negri Kinanah ini, negri ini mampu membuat seseorang tersenyum dan mampu membuat seseorang menangis. Para mahasiswa yang datang ke negri ini selalu berangkat dari niat yang tulus yaitu menuntut ilmu agama tapi sedikit dari mereka yang sadar bahwa tidak hanya sekedar niat yang tulus yang menjaga mereka dinegri ini tapi juga butuh tekad dan sikap konsisten untuk menajaga niat itu.
Ibarat menaiki sebuah perahu layar, setidaknya harus memiliki kesiapan akan datangnya ombak besar. Laut yang begitu indah dipandang dari tepinya, memiliki keganasan didalamnya. Mahasiswa yang dulunya semangat menuntut ilmu akhirnya beberapa tahun kemudian menjadi pembisnis, aktivis, dan yang paling buruk mereka menghabiskan waktu mereka disni bersama laptop-laptop mereka.Al- Azhar sebagai Universitas terpandang di dunia hanya menjadi ladang tempat ujian, pada akhirnya mereka hanya melakukan satu hal “Ujian untuk belajar, belajar untuk ujian”. Inilah salah satu faktor yang menjadikan intelektual masisir mengalami kemunduran, belajar hanya sebatas kewajiban bukan kebutuhan.
Berbeda dengan beberapa golongan mahasiswa yang lain, justru kondisi kehidupan mesir seperti ini menjadi pendorong kesuksesan mereka. Mereka berbisnis, aktif dalam organisasi dan jejaring sosial akan tetapi tetap mendapat predikat yang baik dalam pendidikan, kenapa demikian? Mereka mampu melihat kondisi kehidupan di negri ini, dan mereka juga mampu memilih mana yang lebih prioritas dalam hidup mereka. Sekali lagi ini bukan tentang kekuatan dan kepintaran seseorang  tapi ini tentang kemampuan seseorang beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Apapun yang diraih di negri ini, menjadi pembisnis terbaik, aktivis terbaik atau apapun itu, tidak akan mengubah pandangan masyarakat Indonesia bahwa mahasiswa Al-Azhar adalah yang terbaik dalam bidang agama. Oleh karena itu, Apapun warna kehidupan di negri ini, hitam putih yang dilalui, setidaknya milikilah pegangan yang kuat bahwa kita akan kembali ke negri tercinta kita Indonesia, apa yang akan kita berikan untuk negri kita???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar